Sepintas bahwa dalam sejarah memperjuangkan kebebasan membentuk sebuah negara Republik Indonesia, cukup banyak pengalaman dan perlakuan sejarah yang menjadi harapan kelak apa yang seharusnya dapat dilakukan oleh para penerus dan tetap mempertahankan eksisnya sebuah negara. Soekarno dan Moh Hatta menjadi presiden dan wapres pertama tidak lain dari pemahaman mereka untuk memperjuangkan sebuah negara yang demokratis. Soeharto berkuasa selama orde baru pun tidak lepas dari pemahaman membangun Indonesia menjadi negara yang demokratis. Sampai saat ini demokrasi menjadi barang yang laris untuk diperjual belikan kepada rakyat. Hanya perbedaan dan penerapan model kesepakatan penguasa pembangunan ekonomi maupun politik nasional yang membedakan dampak dari praktek demokrasi.
Kita dapat mempelajari praktek demokrasi masa 63 tahun indonesia demokrasi sangat tergantung dari siapa yang paling berkuasa. Hal ini sesuai dengan kondisi sejarah, misalnya Soekarno dengan jargon demokrasi terpimpin, Soeharto dengan Demokrasi Pancasila. Salah satu yang menjadi pengaruh cukup besar adalah latar dari sang penguasa menjawab tantangan dalam menjaga kebersinambungan visi negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam Undang – undang dasar Negara Republik Indonesia secara pasti kemudian hari Indonesia mensejahterakan masyarakat menuju negara yang adil dan makmur. Toh harapan menjadi optimistik tergantung dari situasi kekinian kurang lebih 200 juta penduduk Indoesia.
Contoh praktek demokrasi kekuasaan di Indonesia tidak terlepas dengan konstitusi pengaturan dalam mengelolah sebuah negara. Sejarah telah membuktikan demokrasi parlementer yang berjalan selama Soekarno maupun Demokrasi Pancasila sistem presidensil ,sarat dengan akhir cerita sejarah buat para penguasa kemudian hari agar lebih saksama untuk dapat menjembatani apa yang seharus sesuai dengan tuntutan kekuasaan jaman. Semenjak tumbangnya kekuasaan Soeharto cukup banyak orientasi baru rakyat terlibat patut dengan perjalanan kekuasaan negara. Secara perlahan mencari bentuk nyata dalam mempraktekkan sebagaimana bagusnya barang dagangan demokrasi. Awal mengukur demokrasi tidaklah semata-mata dengan merubah cara/pola penerapan demokrasi . Dan Saat ini dapat dianggap sebagai transisi demokrasi (masa peralihan demokrasi) yang masih mencari bentuk kapan berakhir transisi saat ini, juga dulunya Presiden dipilih oleh MPR saat ini presiden dipilh oleh rakyat, yang dulunya Bupati/gubernur ditunjuk atau dipilh DPRD saat ini mereka penguasa di propinsi atau Kabupaten dipilh oleh rakyat. Sama-sama menggunakan ongkos politik yang cukup lumayan banyak. Yang dulunya cukup mempunyai taring kekuasan dapat menjadi presiden. Saat harus ini harus menyediakan ongkos Milyar bahkan trilyun rupiah yang harus disediakan untuk menjadi calon pengusa. Maka yang dulunya harus membeli partai-partai di parlemen daerah dapat menjadi Bupati atau Gubernur. Saat ini harus membayar partai dan biaya politik untuk menjaga ritme para pemilh berpihak atau mencoblos mereka pada pilkada langsung . Cukuplah beruntung ketika peluang menjadi penguasa didaerah hanya dengan kepercayaan rakyat memberikan dukungan dan lampiran Kartu Tanda Penduduk(KTP) ataupun keterangan penduduk lainnya dapat ikut bertarung dalam PILKADA.
Apa yang harus dikritisi dari paraktek demokrasi masa lulu maupun saat ini, ada sesuatu yang dilupakan dan secara tersembunyi dihilangkan dari rakyat. Pertama, adalah demokrasi tinggallah demokrasi secara prosedur dijalankan karena kemudian hari apa yang menjadi demokratis tidak dijalankan pasca pemilihan yakni demokrasi hari-hari yang harus menjadi beban rakyat gampang dilupakan. Kedua, demokrasi sebagai kiasan membangun profesi politikus , para pemegang kekuasaan sibuk dengan dirinya sendiri mereka lupa dengan siapa yang memilih mereka. Ketiga ,demokrasi menjadi ”berhala“ yang dikultuskan untuk menggapai singgasana kekuasaan kerana piutang rakyat dilupakan padahal mereka telah memberikan suara mereka setelah “berkomat kamit” menuju bilik suara dengan berbagai harapan.
Kita semua tidak dapat membanyangkan kalau rakyat tidak menuju bilik suara atau golput, pertanyaan kemudian rugi atau untungkah buat rakyat? Yang pasti partai tidak punya nilai jual ketikan itu terjadi. Proses demokrasi dalam PILKDA ataupun PEMILU menjadi kelaziman ditiap negara yang menganut sistem demokrtis, apakah negara tersebut demokrasinya dipraktekkan dalam pemilihan anggota parlemen(DPRD,DPR,DPD) atau hanya sebatas dalam pemilihan anggota parlemen saja(tanpa pemilihan langsung presiden) jika dihubungkan dengan moment maraknya rekruitment para caleg saat ini menjadi sebuah contoh cukup banyak warga negara bertarung dalam pemilu menjadi seorang demokratis. Sehingga kepercayaan kepada penguasa merupakan isyarat maju atau tidaknya makna nilai-nilai demokratis.
Praktek demokrasi bukan hanya pada Pilkada atau Pemilu akan tetapi lebih jauh sampai pada bagaimana menjalankan pembangunan. Sehingga ukuran untuk menjelaskan hal tersebut dalam realitas sampai saat ini hanya akan terjawab sampai keprihatinan rakyat tidak dapat dibelenggu lagi, karena yang perubahan bukan berasal dari para penguasa. Normalnya harapan untuk perubahan masih ada tersisa bagi rakyat, ketidak bosanan rakyat untuk menuju bilik suara masih ada. Problem harapan kedepan rakyat janganlah disia-siakan, jangan daerah yang tercinta jatuh terplosok dilubang yang sama karena salah memilih wakil rakyat. Percaya atau tidak, akan datang kerugian yang dialami rakyat, suatu waktu akan bangkit dengan tuntutan dan kemenangan-kemenangan kecil, hanya penguasa yang punya visi membangun untuk cita perjuangan melayani rakyat dapat lebih memenuhi apa arti kedaulatan dan keuntungan demokrasi buat rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar